KOMPLEK CANDI ARJUNA
Pada Kerajaan
yang mendapat pengaruh Agama Hindu, kata
Candi berasal dari kata
candika yaitu salah satu nama dari Dewi Durga (Dewi Maut). Disamping
itu kata
candi juga bersal dari kata
cinandi yang berarti makam, untuk
memuliakan orang yang sudah wafat.
Di candi Dieng yang dikuburkan bukan
mayat, namun potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik
(pripih)-dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang
telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya.
Dari prasasti batu yang
ditemukan, menyebutkan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210
Masehi, dari informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat
suci Agama Hindu digunakan kurang lebih 4 abad.
Ciri candi Hindu yang
terdapat pada Candi di Dieng adalah:
1. Komplek Candi Dieng
dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca
Dewa Siwa,
Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu.
Dari
sisi arsitektur candi-candi di komplek agak berbeda dibandingkan
dengan candi-candi umumnya di Pulau Jawa, terutama
candi Bima. Bentuk
bagian atas candi Bima merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara
dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara nampak pada bagian atas
yang disebut dengan Sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan
terlihat adanya hiasan
Kudu yaitu hiasan
kepala-kepala dewa yang seolah
melongok keluar dari bilik jendela. Di India, kudu tidak hanya diisi
wajah Dewa, tetapi juga wajah
raksasa, disebut
kirtimukha, berfungsi
sebagai penolak bala. Perbandingan dengan India. Candi Bima dan Arjuna
termasuk candi tua, dibangun abad
VII-VIII. Tampak bahwa pengaruh
Indianya masih kental. Bentuk
Candi Bima mirip dengan
Candi Bhubaneswar
di India, yang dikatakan merupakan perkembangan dari kuil dengan
bentuk
Shikara (menara yang bertingkat).
Bentuk
Candi Arjuna mirip
dengan
candi di India Selatan, yang bentuknya disebut
wimana. Prototipe
wimana adalah rumah berstruktur bambu.
Candi Semar, kemungkinan
mengambil bentuk
mandapa, yang menjadi bagian dari
candi di India,
sebagai tempat untuk
peziarah dan acara festival.
2. Arsitektur
candi-candi di Dieng mangalami perkembangan ke arah kemandirian dari
pengaruh India.
Candi Arjuna dan Candi Bima diketahui memiliki gaya
India yang kental. Kemudian candi-candi lain secara bertahap
menunjukkan ciri lokalnya ditandai oleh perkembangan
relung dan atap
menara.
Berkembangnya ciri lokal dimulai dari
Candi Srikandi (dari
kelompok Candi Arjuna) yang relungnya belum menonjol dan menara atapnya
masih terpisah.
Tahap selanjutnya adalah
candi Puntadewa dan Sembadra
yang relung-relungnya lebih menonjol,
Disusul dengan
Candi Dwarawati
yang relung dan menaranya hampir mencapai bentuk khas Dieng.
Akhirnya,
gaya lokal Dieng ditemukan di Candi Gatutkaca yang menara atapnya
disatukan dengan struktur bangunannya. Siwa merupakan salah satu Dewa utama di Dieng
mempunyai banyak wujud: wujud
aniconic adalah
lingga, wujud
antropomorfik (manusia) misalnya
Siwa Mahaguru, dan
Hari-Hara, wujud
zoomorfik (binatang) adalah
Nandi, dan wujud
teriantrofik (setengah
manusia setengah hewan) adalah
adikaranandin.
Siwa juga digambarkan
dalam bentuk
androgini (separuh laki-laki dan separuh wanita), yaitu
Ardhanariswari, yang menggambarkan
Siwa dan istrinya dalam satu tokoh.
3. Adanya hiasan kala dan makara. Kala di Jateng tanpa dagu (kala ukiran diatas pintu). Kala ada pasangannya yaitu makara.
4. Terdapat Pradagsinapatha (tempat jalan sempit). Tetapi tidak ada tepi (pagar langkar).
5. Relung di dinding candi berjumlah 5 buah. Masing-masing sisi 1, kecuali di bagian muka candi berjumlah 2.
6.
Di tengah ada pondasi terdapat sumuran. Di dalam sumuran ada perigi
tempat untuk menyimpan untuk menyimpan peripih yang ditutup yoni sampai
ke pondasi.
7. Candi-candi di Dieng hampir semua menghadap ke barat, kecuali Candi Semar. Biasanya arah candi menghadap pusat kerajaan.
Dua kelompok dewa di candi Dieng:
1. Kelompok Dewa Tri Murti.
Candi-candi
di Dieng adalah Candi Hindu, Dewa utama yang disembah dalam Agama
Hindu adalah Tri Murti, terdiri atas Brahma (dewa pencipta alam
semesta), Wisnu (dewa pengatur waktu keberadaan isi alam semesta), dan
Siwa (dewa pengatur kembalinya isi alam semesta kepada alam keabadian).
Di Dieng, keberadaan Tri Murti ditemukan di Candi Srikandi, ini
berarti terdapat pemujaan Tri Murti di Dieng.
2. Kelompok Siwa dan Parswadewata
Dalam
Agama Hindu, terdapat banyak sekte, paling populer adalah sekte saiwa
yang mengutamakan pemujaan Dewa Siwa. Di dalam candi untuk memuja Siwa.
Siwa atau lingga-yoni menempati bilik utama (garbagreha) diikuti oleh
parswadewata, terdiri atas Agastya, Ganesa Dan Durga. Di India,
parswadewata tidak menyertakan Agastya, melainkan Kartikeya. Di Dieng,
bukti pemujaan Kartikeya dijumpai dalam prasasti Humpan yang dijumpai di
Gunung Pangonan.
Kelompok candi Jawa Tengah bagian utara seperti
Candi Dieng biasanya memiliki ciri-ciri:
Candi-candi berkelompok tiada
beraturan dan lebih-lebih merupakan gugusan candi yang masing-masing
berdiri sendiri. Selain itu hiasan dan bentuknya lebih bersahaja.
Bangunan candi terdiri atas kaki yang melambangkan bhurloka (dunia
manusia), dan tubuh yang melambangkan bhuwarloka (dunia mereka yang
disucikan), dan atap yang melambangkan swarloka (dunia para dewa).
Kaki, denahnya bujur sangkar, agak tinggi, serupa batus, dapat dinaiki
melalui tangga ke bilik candi. Ditengah-tengah ada sebuah perigi tempat
menanam peripih.
Tubuh candi, terdiri dari : sebuah bilik yang berisi
arca perwujudannya. Ditengah bilik. Tepat di atas perigi. Menghadap ke
arah pintu masuk candi. Dinding bilik sisi luarnya diberi
relung-relung yang diisi dengan arca. Relung sisi selatan bertakhta
arca guru, utara- durga dan dalam relung dinding belakang (barat atau
timur, tergantung arah hadap candi) arca Ganesha.
Atap candi: Terdiri
atas susunan tiga tingkatan, yang semakin ke atas semakin kecil
ukurannya, pada puncak diberi genta.
http://www.sikatdiengtour.co.id/index.php/sejarah-dieng