0
Sanjaya Merupakan Raja pertama Di Kerajaan Medang Sanjaya Merupakan Raja pertama Di Kerajaan Medang

Sanjaya merupakan raja pertama Kerajaan Medang. Menurut prasasti Canggal ( 732 ), ia menganut agama Hindu aliran Siwa . Sementara itu Ra...

1
ASAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN GALUH ASAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN GALUH

Kerajaan Galuh Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh adalah Salah satu kerajaa...

0
Etimologi kata Dieng Etimologi kata Dieng

Etimologi kata Dieng Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa kawi "di" yang berarti "tempat" atau "gun...

0
Dieng Setelah Era Agama Hindu Wangsa Sanjaya Dieng Setelah Era Agama Hindu Wangsa Sanjaya

Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Antara kabupaten Wonosobo, dan Banjar negara Jawa tengah. Kaw...

0
Candi Dieng Adalah Candi Hindu Candi Dieng Adalah Candi Hindu

KOMPLEK CANDI ARJUNA Pada Kerajaan yang mendapat pengaruh Agama Hindu, kata Candi berasal dari kata candika yaitu salah satu nama...

0
Hubungan antara Dieng dengan Kerajaan Medang Kamulan Atau Mataran Kuno   Hubungan antara Dieng dengan Kerajaan Medang Kamulan Atau Mataran Kuno

Hubungan antara Dieng dengan Kerajaan Medang Kamulan Atau Mataran Kuno   Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja Sanjaya adalah pendir...

Selasa, 28 Januari 2014

Sanjaya Merupakan Raja pertama Di Kerajaan Medang

Sanjaya merupakan raja pertama Kerajaan Medang. Menurut prasasti Canggal (732), ia menganut agama Hindu aliran Siwa. Sementara itu Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang. Menurut prasasti Kalasan (778), ia mendirikan sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita tersebut, muncul beberapa teori seputar hubungan di antara kedua raja tersebut.
prasasti kalasan

Teori pertama dipelopori oleh Van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Wangsa Sanjaya kemudian dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan tidak lain merupakan perintah dari raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang telah tunduk sebagai bawahan. Nama raja Sailendra tersebut diperkirakan sama dengan Dharanindra yang ditemukan dalam prasasti Kelurak (782). Teori ini banyak dikembangkan oleh para sejarawan Barat, antara lain George Cœdès, ataupun Dr. F.D.K. Bosch.



Teori kedua dikemukakan oleh Prof. Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya namun keduanya sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Dalam hal ini Poerbatjaraka tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurut pendapatnya (yang juga didukung oleh sejarawan Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto), sebelum meninggal, Sanjaya sempat berwasiat agar Rakai Panangkaran berpindah ke agama Buddha. Teori ini berdasarkan kisah dalam Carita Parahyangan tentang tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya yang dikisahkan pindah agama. 
Rahyang Panaraban ini menurut Poerbatjaraka identik dengan Rakai Panangkaran. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah guru Rakai Panangkaran sendiri.


Teori ketiga dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih tertulis nama Sanjaya bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar ini membuktikan terjadinya pergantian dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Jadi, Rakai Panangkaran adalah raja dari Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra karena dalam prasasti Kalasan ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra).

Dalam hal ini, Slamet Muljana menolak teori bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Dharanindra. Menurutnya, Rakai Panangkaran dan Dharanindra sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Meskipun demikian, ia tidak menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama. Menurutnya, Dharanindra tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang memiliki nama asli Dyah Pancapana (sesuai pemberitaan prasasti Kalasan). Muljana berpendapat, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam prasasti Mantyasih.

Rabu, 22 Januari 2014

ASAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN GALUH


Kerajaan Galuh
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Kerajaan Galuh adalah Salah satu kerajaan yang berbahasa Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya terletak di sebelah barat Sungai Citarum dan di sebelah timur sungai Ci Serayu  atau Cipamali (Kali Brebes). Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanegara.
Sejarah mengatakan Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Cerita Parahyangan, suatu naskah yang berbahasa sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Didalam naskah tersebut, menceritakan mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di kerajaan Galuh yaitu Sang Wretikandayun.

Saat raja Linggawarman, raja dari kerajaan Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669. Linggawarman memunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura.
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, cicit Manikmaya, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sendiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Kerajaan Galuh danKerajaan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batas Kerajaannya.






Kerajaan kembar
Wretikandayun mempunyai tiga anak lelaki:
1.     Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung),
2.     Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh),
3.     Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702),

Setelah Meninggalnya Wretikandayun, Kerajaan Galuh digantikan oleh putranya yang ke 3 Rahiyang Mandiminyak atau putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.
Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja Kakak pertama Mandi Minyak mempunyai dua anak:
1.     Demunawan
2.      Purbasora.
Akibat tergoda oleh kecantikan kakak iparnya Nay Pwahaci Rababu (istri sempak waja), Mandiminyak tergoda sampai terseret ke perbuatan nista, sampai mempunyai anak laki-laki yang bernama Sena (atau Sang Salah) / sanna / Bratasena. Sedangkan dari istrinya, Dewi Parwati, putri dari Ratu Sima dari kerajaan Kalingga dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai anak perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lalu dinikahkan, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).
Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709), kemudian diteruskan oleh putranya Sena / sanna / Bratasena. Karena merasa punya hak mahkota dari Ayahnya Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora mereka berdua merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun 716). Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan mendirikan kerajaan Medang Kamulan



Etimologi kata Dieng

Etimologi kata Dieng

Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa kawi "di" yang berarti "tempat" atau "gunung" dan "hyang" dapat diartikan sebagai dewa atau dewi. 
Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. 
Teori lain menyatakan, nama Dieng berasal dari bahasa sunda kuno yang di ambil dari kata "edi" tempat tertinggi dan "hyang"dewa dan dewi.
karena diperkirakan pada masa pra-medang (sekitar abad ke-7 Masehi) daerah itu berada dalam pengaruh politik kerajaan galuh
 

Dieng Setelah Era Agama Hindu Wangsa Sanjaya

Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Antara kabupaten Wonosobo, dan Banjar negara Jawa tengah.
Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2093 m di atas permukaan laut, memanjang arah utara-selatan kurang lebih sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800 m.
Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-7 sampai pertengahan abad ke-9 ini diduga merupakan salah satu candi tertua di Jawa tengah.
Sampai saat ini belum ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng, namun para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari Wangsa Sanjaya.
Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 808 M, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno, yang masih masih ada hingga saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang ditemukan di kawasan ini sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Pembangunan Candi Dieng diperkirakan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama abad ke-8, meliputi pembangunan Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca. Tahap kedua merupakan kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi sekitar tahun 780 M.









Candi Dieng pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang tentara Inggris yang sedang berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam dalam genangan air telaga. Pada tahun 1856, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan telaga tempat kumpulan candi tersebut berada. Upaya pembersihan dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864, dilanjutkan dengan pencatatan dan pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.










http://www.sikatdiengtour.co.id/index.php/sejarah-dieng

Candi Dieng Adalah Candi Hindu


KOMPLEK CANDI ARJUNA

Pada Kerajaan yang mendapat pengaruh Agama Hindu, kata Candi berasal dari kata candika yaitu salah satu nama dari Dewi Durga (Dewi Maut). Disamping itu kata candi juga bersal dari kata cinandi yang berarti makam, untuk memuliakan orang yang sudah wafat.
Di candi Dieng yang dikuburkan bukan mayat, namun potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik (pripih)-dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya.
Dari prasasti batu yang ditemukan, menyebutkan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi, dari informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat suci Agama Hindu digunakan kurang lebih 4 abad.
Ciri candi Hindu yang terdapat pada Candi di Dieng adalah:

1.    Komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu.
Dari sisi arsitektur candi-candi di komplek agak berbeda dibandingkan dengan candi-candi umumnya di Pulau Jawa, terutama candi Bima. Bentuk bagian atas candi Bima merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara nampak pada bagian atas yang disebut dengan Sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat adanya hiasan Kudu yaitu hiasan kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bilik jendela. Di India, kudu tidak hanya diisi wajah Dewa, tetapi juga wajah raksasa, disebut kirtimukha, berfungsi sebagai penolak bala. Perbandingan dengan India. Candi Bima dan Arjuna termasuk candi tua, dibangun abad VII-VIII. Tampak bahwa pengaruh Indianya masih kental. Bentuk Candi Bima mirip dengan Candi Bhubaneswar di India, yang dikatakan merupakan perkembangan dari kuil dengan bentuk Shikara (menara yang bertingkat).

Bentuk Candi Arjuna mirip dengan candi di India Selatan, yang bentuknya disebut wimana. Prototipe wimana adalah rumah berstruktur bambu.

Candi Semar, kemungkinan mengambil bentuk mandapa, yang menjadi bagian dari candi di India, sebagai tempat untuk peziarah dan acara festival.

2. Arsitektur candi-candi di Dieng mangalami perkembangan ke arah kemandirian dari pengaruh India. Candi Arjuna dan Candi Bima diketahui memiliki gaya India yang kental. Kemudian candi-candi lain secara bertahap menunjukkan ciri lokalnya ditandai oleh perkembangan relung dan atap menara.
Berkembangnya ciri lokal dimulai dari Candi Srikandi (dari kelompok Candi Arjuna) yang relungnya belum menonjol dan menara atapnya masih terpisah.



Tahap selanjutnya adalah candi Puntadewa dan Sembadra yang relung-relungnya lebih menonjol,
Disusul dengan Candi Dwarawati yang relung dan menaranya hampir mencapai bentuk khas Dieng.
Akhirnya, gaya lokal Dieng ditemukan di Candi Gatutkaca yang menara atapnya disatukan dengan struktur bangunannya. Siwa merupakan salah satu Dewa utama di Dieng mempunyai banyak wujud: wujud aniconic adalah lingga, wujud antropomorfik (manusia) misalnya Siwa Mahaguru, dan Hari-Hara, wujud zoomorfik (binatang) adalah Nandi, dan wujud teriantrofik (setengah manusia setengah hewan) adalah adikaranandin. Siwa juga digambarkan dalam bentuk androgini (separuh laki-laki dan separuh wanita), yaitu Ardhanariswari, yang menggambarkan Siwa dan istrinya dalam satu tokoh.

3. Adanya hiasan kala dan makara. Kala di Jateng tanpa dagu (kala ukiran diatas pintu). Kala ada pasangannya yaitu makara.

4. Terdapat Pradagsinapatha (tempat jalan sempit). Tetapi tidak ada tepi (pagar langkar).

5. Relung di dinding candi berjumlah 5 buah. Masing-masing sisi 1, kecuali di bagian muka candi berjumlah 2.

6. Di tengah ada pondasi terdapat sumuran. Di dalam sumuran ada perigi tempat untuk menyimpan untuk menyimpan peripih yang ditutup yoni sampai ke pondasi.

7. Candi-candi di Dieng hampir semua menghadap ke barat, kecuali Candi Semar. Biasanya arah candi menghadap pusat kerajaan.

Dua kelompok dewa di candi Dieng:

1. Kelompok Dewa Tri Murti.
Candi-candi di Dieng adalah Candi Hindu, Dewa utama yang disembah dalam Agama Hindu adalah Tri Murti, terdiri atas Brahma (dewa pencipta alam semesta), Wisnu (dewa pengatur waktu keberadaan isi alam semesta), dan Siwa (dewa pengatur kembalinya isi alam semesta kepada alam keabadian). Di Dieng, keberadaan Tri Murti ditemukan di Candi Srikandi, ini berarti terdapat pemujaan Tri Murti di Dieng.

2. Kelompok Siwa dan Parswadewata
Dalam Agama Hindu, terdapat banyak sekte, paling populer adalah sekte saiwa yang mengutamakan pemujaan Dewa Siwa. Di dalam candi untuk memuja Siwa. Siwa atau lingga-yoni menempati bilik utama (garbagreha) diikuti oleh parswadewata, terdiri atas Agastya, Ganesa Dan Durga. Di India, parswadewata tidak menyertakan Agastya, melainkan Kartikeya. Di Dieng, bukti pemujaan Kartikeya dijumpai dalam prasasti Humpan yang dijumpai di Gunung Pangonan.

Kelompok candi Jawa Tengah bagian utara seperti Candi Dieng biasanya memiliki ciri-ciri: 
Candi-candi berkelompok tiada beraturan dan lebih-lebih merupakan gugusan candi yang masing-masing berdiri sendiri. Selain itu hiasan dan bentuknya lebih bersahaja.
Bangunan candi terdiri atas kaki yang melambangkan bhurloka (dunia manusia), dan tubuh yang melambangkan bhuwarloka (dunia mereka yang disucikan), dan atap yang melambangkan swarloka (dunia para dewa).
Kaki, denahnya bujur sangkar, agak tinggi, serupa batus, dapat dinaiki melalui tangga ke bilik candi. Ditengah-tengah ada sebuah perigi tempat menanam peripih.
Tubuh candi, terdiri dari : sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya. Ditengah bilik. Tepat di atas perigi. Menghadap ke arah pintu masuk candi. Dinding bilik sisi luarnya diberi relung-relung yang diisi dengan arca. Relung sisi selatan bertakhta arca guru, utara- durga dan dalam relung dinding belakang (barat atau timur, tergantung arah hadap candi) arca Ganesha.
Atap candi: Terdiri atas susunan tiga tingkatan, yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya, pada puncak diberi genta.

http://www.sikatdiengtour.co.id/index.php/sejarah-dieng

Hubungan antara Dieng dengan Kerajaan Medang Kamulan Atau Mataran Kuno


Hubungan antara Dieng dengan Kerajaan Medang Kamulan Atau Mataran Kuno  

Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya. Raja Sanjaya memerintah dengan sangat adil dan bijaksana, sehingga rakyatnya terjamin aman dan tentram. Di dalam masalah keagamaan, Raja Sanjaya mendatangkan pendeta-pendeta Hindu beraliran Siwa. Dari para pendeta itu, Raja dapat memperdalam agama Hindu Siwa. Pemujaan yang tertinggi di Kerajaan Mataram Kuno diberikan kepada Dewa Siwa yang dianggap sebagai Dewa tertinggi. Untuk memuja Dewa itu, didirikanlah candi-candi.



Keturunan Raja Sanjaya tetap beragama Hindu dengan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah bagian utara. Mereka mendirikan  candi-candi Hindu di Dataran tinggi Dieng dengan masa pembangunannya berkisar tahun 778-850 M. Di Dataran Tinggi Dieng dapat dijumpai perkomplekan candi yang banyak jumlahnya. Penamaan candi diambil dari nama wayang yang bersumber dari cerita Baratayuda seperti Candi Puntadewa, Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Gatutkaca dan sebagainya.
Latak bangunan terpencar di beberapa tempat, sebagian ada yang mengelompok dan sebagian lain berdiri sendiri. Kelompok candi yang mengelompok yaitu komplek Percandian Arjuna yang berderet dari utara ke selatan, mulai dari Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra. Di depan Candi Arjuna terdapat Candi Semar.Bangunan candi yang berdiri sendiri misalnya Candi Bima, Candi Gatutkaca, Candi Dwarawati, Candi Parikesit, Candi Sentyaki, Candi Sadewa, Candi Gareng, Candi Petruk dan Candi Bagong.
 Di antara keseluruhan candi di Komplek Percandian Dieng tersebut, terdapat empat candi yang kini keadaannya masih relatif utuh yaitu Candi Bima, Candi Arjuna dan Candi Gatutkaca, Candi Dwarawati.
Pembangunan sebuah candi yang ada di dataran tinggi dieng dapat dilihat dari berbagai sisi.
Ketika penanggalan harfiah atau simbolik yang menunjukkan angka tahun tidak ditemukan, maka perhatian terhadap komponen bangunan menjadi alternatifnya. Komponen bangunan seperti cara penempatan tangga, kaki, jumlah relung, denah bangunan, seringkali mengarah pada gaya arsitektur masa tertentu. Selain itu, ornamen candi juga dapat menjadi petunjuk, seperti yang dilakukan EB Vogler. Ia mengelompokkan pendirian candi-candi di Jawa Tengah berdasarkan perkembangan bentuk kala makara. Kala makara merupakan penghias pintu gerbang dan relung-relung candi yang juga berfungsi sebagai ”penjaga”.

 http://www.sikatdiengtour.co.id/index.php/sejarah-dieng